"dok..saya tidak mau di infus-infus lagi..."
Jumat, 07 Desember 2012
0
komentar

Ketika saya bertugas di bagian bangsal, ada sosok mungil yang menarik perhatian saya. Anak ini berusia 8 tahun. Rambutnya lurus berwarna hitam legam dengan potongan sebahu. Kulitnya kecokelatan, badannya kurus tetapi perutnya tampak membesar. Yeni nama anak itu. Dia menjadi pasien langganan bangsal anak di rumah sakit tempat saya internship. Satu bulan sekali pasti saya menemui yeni yang terbaring lemas di tempat tidur, menunggu darah yang siap ditranfusikan ke pembuluh vena tangan mungilnya.
Yeni adalah seorang anak kecil penderita thalasemia. Thalasemia adalah penyakit yang diturukan melalui genetis dan bersifat resesif. Sel darah merah penderita mudah rusak yang disebabkan oleh kelainan struktur protein sel darah merah itu. Singkatnya, umur sel darah merah penderita thalasemia lebih singkat (umumnya 120 hari). Frekuensi terjadinya thalasemia sekitar 3-10%, diperkirakan setiap tahunnya akan muncul 2000 kasus baru thalasemia. Untuk penderita thalasemia mayor membutuhkan tranfusi seumur hidupnya sehingga membutuhkan biaya pengobatan yang cukup tinggi.
Pertama kali terdiagnosis penyakit ini pada usia 8 bulan. Sejak saat itulah Yeni harus melakukan rutin tranfusi darah. Jika tidak, mungkin Yeni sudah tidak bisa bertahan lagi. Ayah Yeni hanyalah seorang pekerja lepas kebun kopi yang banyak tersebar di kepahiang. Sedangkan ibunya hanya di rumah mengurus Yeni dan adik laki-lainya yang masih berusia 10 bulan. Untuk pembiayaan, seharusnya Yeni masuk ke dalam kategori Miskin yang mendapatkan kartu JAMKESMAS. Pengobatan thalasemia masuk di dalam lingkup JAMKESMAS, dengan kata lain Yeni tidak perlu membayar sepeser pun untuk pengobatannya. Tetapi sayang sekali, keluarga kecil ini tidak mendapatkan haknya.

Malam itu saya mengecek kondisi Yeni apakah sudah bisa di tranfusi. Biasanya Yeni mengalami demam sehingga tranfusi harus ditunda sampai suhu tubuh stabil. Saya melihat wajahnya yang tampak pucak, jelas karena anemia yang menyiksa tubuh anak ini.
"dokter..." sapa Yeni malam itu
"Iya dek, kenapa?? ada yang sakit??" jawab saya sambil mengecek aliran infus
"Saya bosan...." jawab Yeni singkat. Saya jujur kaget mendengar jawaban anak itu. Wajar jika dia merasa bosan, dalam 7 tahun terakhir, setiap bulannya Yeni harus masuk rumah sakit.
"Saya tidak mau di infus-infus lagi dok...bisa ya dok?, saya mau sekolah sama teman-teman, ga mau di rumah terus"
mendengar keluhan Yeni saya cuma bisa diam. Kemudian berpikir, kalimat apa yang cocok untuk menjawab keluhan Yeni, jujur say iba.
"Yeni yang sabar ya...Yeni harus di obatin dulu, kalau berobat teratur Yeni nanti bisa sekolah lagi kok." jawab saya mencoba menenangkan Yeni.
Yeni hanya diam saja. Gadis kecil itu lalu membalikkan badannya membelakangi saya. Setelah itu dia diam. Pasti dia sudah hapal dengan jawaban klasik ini. Saya tidak tau apa yang sedang dipikirkannya. Jelas dia sangat tersiksa. Psikologisnya jelas sudah mulai down. Rasa iri dengan teman-teman sebaya yang bisa bersekolah sedangkan dia hanya bisa menonton televisi di rumah.

Kebetulan darah sudah siap ditranfusikan. Saya pun memberitahu perawat bangsal anak untuk menyiapkan tranfusi. Karena hanya dengan tetesan darah itulah Yeni masih bisa bertahan hingga saat ini.
*nb: kisah di atas adalah kisah nyata namun nama sengaja saya ubah demi menghargai privasi pasien
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: "dok..saya tidak mau di infus-infus lagi..."
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://doddyrizqi.blogspot.com/2012/12/doksaya-tidak-mau-di-infus-infus-lagi.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar